Impian Nomor Satu – bagian 2

Dani memandangi lautan awan di luar jendela pesawat. Sedikit gamang. Apakah Mirani membencinya? Atau justru sudah melupakannya? Dan menemukan pria lain yang lebih baik?

Sejak pertemuan terakhir itu, Mirani seperti menghindarinya. Nomor ponsel dan alamat e-mail Mirani tak bisa dihubungi. Beberapa kali Dani mampir ke rumah Mirani saat pulang ke Pontianak namun keluarga gadis itu hanya berkata Mirani bergabung dengan sebuah lembaga medis yang banyak mendirikan pusat layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil. Ia sibuk mendedikasikan keahliannya sebagai dokter umum di sana.

“Tugas di Pulau Seram? Di mana alamatnya?” Dani mendesak.

Tak ada yang mau memberitahunya di mana Mirani, atau bahkan tidak juga nomor ponsel yang bisa dihubungi.

“Mirani sudah berpesan, kau tak usah mencarinya. Begitu saja. Katanya hubungan kalian sudah berakhir.” Mereka sedikit ketus. Mungkin menyalahkan Dani yang membuat Mirani seperti ‘membuang diri’ ke tempat terpencil, demi melupakannya.

Ya, memang. Dan Dani sendiri yang bilang pada Mirani untuk tidak menunggunya. Dani sendirilah yang membiarkan Mirani lepas dari hidupnya dan memilih mengejar impiannya. Mirani tak salah…

Bertahun-tahun Dani merintis karirnya sebagai penulis dari nol, lambat laun buah pikirannya mulai dimuat di beberapa harian lokal. Kerja keras akhirnya mengantarkan Dani menjadi bagian dari tim redaksi di harian besar nasional. Impiannya sudah mulai teraih, tapi Dani merasa masih hampa. Rasa hampa itu selalu membawa Dani kembali pada bayangan Mirani. Gadis itulah yang diinginkannya menjadi tempat berbagi keberhasilan dan semangatnya, juga tempatnya berlabuh saat hati penat. Sekarang, Dani baru tersadar bahwa Miranilah impian nomor satunya!

Dani menghembuskan napas lega saat pesawat telah mendarat. Bandara Supadio ramai oleh para penumpang pesawat dan sanak keluarga yang mengantar atau menjemput. Perjumpaan. Perpisahan. Bagaimana dengan dia dan Mirani?

Untuk kesekian kalinya, Dani membaca lagi e-mail Mirani di ponselnya. E-mail yang membawanya pulang ke Pontianak secepat mungkin. Setelah lama menghilang dari hidup Dani, dua minggu lalu nama Mirani tiba-tiba muncul di mailbox!

Apa kabar, Dani? Kuharap kau selalu sehat.

“Bagaimana denganmu, Mirani? Kau sehat?? Kemana saja??” Kalau saat itu Mirani ada di depannya, pasti sudah diguncangnya bahu gadis itu. Cemas. Penasaran. Rindu!

Kulihat namamu sudah banyak muncul di berbagai koran dan majalah, tercantum di atas artikel-artikelmu yang bernas. Kau selalu hebat menulis isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat kita. Tulisanmu kritis menggigit tapi tetap humanis.

“Ah, di mana kau, Mirani? Masih ada harapan untuk kita kan? Kau masih memikirkanku, bukan? Kalau tidak, kau tak akan mengikuti perkembangan karirku seperti ini,” secercah harapan membuncah di dada Dani.

Selamat, Dani. Aku ikut bahagia kau berhasil meraih impian terbesarmu. Ada hasilnya juga selama ini aku menghilang, agar kau fokus pada tujuanmu tanpa ada aku yang akan mengganggu. Aku tak berhak dan tak cukup berharga untuk itu.

“Tidak, Mirani,” Dani menggeleng. Semuanya belum sempurna, tak sempurna tanpa Mirani di sisinya.  

Sekarang, karena kau sudah berhasil menjadi redaktur junior di sebuah harian ternama nasional, boleh kan sekali saja aku mengganggumu, sekedar untuk memberi selamat? Aku juga, sepertimu, sudah menemukan apa impian terbesarku dan sedang mengejarnya. Semoga sukses selalu.

Mirani.

 

 

Mirani tidak lupa padanya, bahkan mungkin masih menunggunya kembali. Benarkah?? Kali ini, Dani tak akan melepaskan kesempatan sekecil apapun. Setelah puas menuntaskan rindu dengan keluarganya di rumah, Dani bertolak ke rumah keluarga Mirani. Ia harus tahu di mana Mirani!

Leave a comment